Oleh: Muhammad Ulul Abshor
Editor: Henrik
Sumber gambar: Waydeenmuslim.com
Penaklukan, imigrasi, perdagangan, irigasi, urbanisasi pemerintah Islam
awal tidak hanya mengubah lanskap alam Irak, tetapi juga medan psikologi agama
zaman kuno. Perpindahan agama dari berbagai jenis Paganisme,
Yudaisme, Kristen, dan Majusi
hanya menangkap transformasi itu secara garis besar saja . Rabi’ ah Al –
Adawiyyah mengilustrasikan aspek komplementer darinya.
Islam awal
sangat fleksibel, mengambil banyak bentuk sesuai dengan geografi, status, serta
latar belakang sosial dan agama umat Islam yang baru dan yang lama. Kita tidak mungkin
bisa mengirim seorang antropolog ke era Umayyah dan Abbasiyah, tetapi sudah di
ketahui luas bahwa umat Islam terdiri dari beraneka ragam komunitas Islam, bukan
monolit tunggal yang disatukan oleh rukun iman dan ibadah ritual. Karena itu,
wajar jika terjadi tingkat ketidakpastian pada level kolektif. Mengingat sifat
bukti yang kita miliki, bagaimana kita membayangkan kehidupan pribadi seorang
Muslim pada zaman itu? Apa saja harapan, pola pikiran, disposisi kognitif dan emosional,
dan bagaimana semua itu diwujudkan dalam budaya? Rabi’ah Al–Adawiyyah, wanita suci
yang paling terkenal dalam Islam, memungkinkan kita melihat pengalaman
seseorang dalam mempraktikkan kesalihan dan komitmen psikologisnya: spiritualitas
Islam awal.
Kita telah
melihat komitmen religius Nabi Muhammad Saw. Mengawali berbagai peristiwa yang
akan mengubah geografis politik dunia Timur Tengah dan Laut Tengah. Namun, banyak
umat Islam yang tidak mampu atau enggan berpartisipasi dalam proyek
pemerintahan; mereka hanya menjadi penonton yang cuek, pengamat acuh tak acuh
atau kritikus yang diam-diam menentang sebagian perubahan yang terjadi. Beberapa
orang yang bersedia mengubah kondisi emosi atau psikologinya, alih-alih
menaklukan atau memerintah dunia. Bagi orang-orang
yang ini beberapa diantaranya orang yang putus sekolah, atau perusuh, sementara
lainnya adalah individualis eksentrik tersedia ruang sosial maupun materi
diskursif untuk memperdalam dan menyalurkan alur kehidupan internalnya. Dengan
kata lain, nilai nilai budaya memungkinkan gaya spritualitas dan orang orang
yang tertarik dengan hal itu dapat merujuk dan menghasilkan berbagai cerita,
teks, narasi, mitos Al Qur’an, dan dicta Nabi yang mengungkapkan alur tersebut dalam
istilah yang sangat Islami karena warisan yang diciptakan umat Islam tentang
Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya tentang hukum, reformasi sosial, atau hegemoni
religio–politik, melainkan juga tentang mengingat Tuhan, shalat
dalam kesendirian, kesederhanaan, dan bahkan kemiskinan. “Hai orang–orang yang
beriman, berdzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, dzikir
yang sebanyak–banyaknya,” seperti yang dikatakan Al-Qur’an
33: 41. Rabi’ah al–Adawiyyah tampaknya mencerminkan tahap awal gaya pertapaan
dari spiritualitas Islam.
Tetapi, upaya
mewujudkan adalah proses kolektif dan inkremental. Rabi’ah tidak meninggalkan
karya tulis apa pun; dia juga bukanlah sosok yang cukup penting pada zamannya
untuk menarik perhatian para penulis sejarah abad ke–9. Selama berabad–abad,
sekian banyak mitos, legenda, dan polemik menutupi kenangan samar tentang sosok
asli Rabi’ah yang hidup pada abad ke–8, yang mentransformasikan sosok yang
tidak jelas menjadi mistik sufi yang terkenal. Ini adalah pencapaian yang cukup
hebat. Asketisisme dan mistisme mungkin sering menyatu; tetapi, sesungguhnya
keduanya tidak harus dikombinasikan. Sufisme juga tidak memonopoli mistisme
dalam tradisi Islam. Secara kronologis, asketisme sudah ada sebelum sufisme
yang baru dikenal sebagai sebuah gerakan
pada akhir abad ke–9 dan abad ke–10. Bahkan, keberhasilan sufisme dalam
mengukir tempat di masyarakat Islam dalam beberapa hal berdasarkan
kesuksesannya dalam mempresentasikan kalangan pertapa dari abad ke–8,
seperti Rabi’ah sebagai sufi Avant
la lettre. Dibawah, kita akan membahas Al-Hallaj, yang bisa dikatakan merupakan tokoh mistik muslim yang
paling spektakuler. Potongan terbesar cerita yang menyampaikan hampir seluruh kehidupan legendaris Rabi’ah di rangkai pada
abad ke-12 dan abad ke–13, dan kehadiran sosoknya dalam sebuah karya yang
dikaitkan dengan penulis hagiografi Farid ad– Din Al -'Attar (w. 1221) yang
benar-benar mengokohkan posisinya di panteon orang-orang suci sufi sebagai teladan
wanita suci.
Al–‘Attar
menulis karyanya dalam bahasa Persia untuk pembaca Iran dan Asia Tengah, tetapi
reputasi Rabi’ah tersebar jauh dan luas. Bibi Jamal khatun, wanita suci abad ke–17
yang tinggal di India Barat, “menguasai kondisi dan tahapan yang luhur [istilah
– istilah teknis untuk tahapan dalam jalan mistik sufi], pertapaan dan
pengerahan tenaga, dan dalam penolakan dan pelepasan hal–hal duniawi, dia adalah
seseorang yang unik.” Dia adalah “Rabi’ah pada zamannya”, seperti yang dikatakan
seorang penulis hagiografi. ketenaran Rabi’ah juga menyebar ke Barat: para
pelancong yang berjalan di sekitar Gunung Zaitun di Yerusalem kadang- kadang
menemui makamnya. (Alasan sepenuhnya menyesatkan. Orang Yahudi dan Kristen
dikenal mengklaim makam itu sebagai makam Nabi perempuan atau wanita sucinya
sendiri dan dalam memasuki khazanah Islam populer, makam itu pertama-tama dihubungkan
dengan sosok bernama Rabi’ah dari Damaskus). Yang lebih fantastis adalah
penggambarannya dalam budaya populer modern. Salah satu film klasik Mesir
adalah film biografi Rabi’ah, dibintangi oleh Ummu Kultsum, penyanyi Mesir
terbesar dari abad ke–20. Untuk beberapa orang yang menulis dalam nuansa
feminisme l, Rabi’ah adalah teladan kemandirian wanita, seorang wanita yang
memiliki hati nurani dan kepercayaan diri untuk menyampaikan kebenaran di
hadapan hegemoni laki – laki. Tampaknya, daya tarik sosoknya tidak pernah ada
habisnya.
Rabi’ah yang lebih masuk akal
Dapatkah kita mengatakan apa pun dengan
yakin tentang sosok Rabi’ah? Latar belakang etnis dan sosialnya masih
diperdebatkan; beberapa sumber mengatakan dia lahir pada awal abad ke–8 dari
keluarga miskin, yatim piatu , dan dijual sebagai budak. Menurut kisah
kelahiran yang paling umum, Nabi Muhammad Saw. muncul dalam mimpi ayahnya, berjanji
bahwa putrinya akan berdoa mewakili 70.000 Muslim. Kemudian, sebagaimana diperintahkan Nabi
Muhammad Saw. untuk mengunjungi Gubernur setempat , ayahnya lepas dari jerat
kemiskinan berkat hadiah dari sang gubernur. Apa yang sesungguhnya terjadi tampaknya tidak begitu
ajaib dan lebih masuk akal mengingat status lokalnya.
Rabi’atul
Adawiyyah ahli ibadah perempuan yang kerap menangis dan bersedih karena
mengingat akan kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah. Jika mendengar
keterangan perihal neraka, Rabiah jatuh tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Rabiatul Adawiyyah dapat di kategorikan sebagai khawashul
khawash dalam tingkatan Imam Al–Ghazali atau superistimewa, tingkat tertinggi
setelah tingkat orang kebanyakan (Awam) dan
tingkat orang istimewa (khawash). Kalau kebanyakan orang beristigfar
atau meminta ampunan Allah atas dosa, Rabiatul beristigfar untuk ibadah yang
tidak sempurna. Berikut adalah Karya Rabi’ah al-Adawiyyah: Disco y canciones de unamistica sufi, Chants de la
recluse, I detti di Rabi’a.
Daftar Pustaka
Adang, C., “Ibn Hamz on Homosexuality : a
Case - Study of Zahiri Legal Methodology” , al Qantara 24 (2003), hlm. 5 – 31.
Adler, E. N., Jewish Travellers ( London, 2005).
https://islam.nu.or.id/post/read/116317/rabiah-al-adawiyah--sufi-perempuan-peletak-dasar-mazhab-cinta
Annestay, J., Une femme soufie
en Islam : Rabi’a al – ‘Adawiyya (Paris, 2009).