Salam Pergerkan

Kamis, 14 Januari 2021

Rabi’ah al – Adawiyyah, Sosok Wanita Pemberani dan Wali Allah Pada Abad Ke-9

Oleh: Muhammad Ulul Abshor

Editor: Henrik

Sumber gambar: Waydeenmuslim.com

Penaklukan, imigrasi, perdagangan, irigasi, urbanisasi pemerintah Islam awal tidak hanya mengubah lanskap alam Irak, tetapi juga medan psikologi agama zaman kuno. Perpindahan agama dari berbagai jenis Paganisme, Yudaisme, Kristen, dan Majusi hanya menangkap transformasi itu secara garis besar saja . Rabi’ ah Al – Adawiyyah mengilustrasikan aspek komplementer darinya.

Islam awal sangat fleksibel, mengambil banyak bentuk sesuai dengan geografi, status, serta latar belakang sosial dan agama umat Islam yang baru dan yang lama. Kita tidak mungkin bisa mengirim seorang antropolog ke era Umayyah dan Abbasiyah, tetapi sudah di ketahui luas bahwa umat Islam terdiri dari beraneka ragam komunitas Islam, bukan monolit tunggal yang disatukan oleh rukun iman dan ibadah ritual. Karena itu, wajar jika terjadi tingkat ketidakpastian pada level kolektif. Mengingat sifat bukti yang kita miliki, bagaimana kita membayangkan kehidupan pribadi seorang Muslim pada zaman itu? Apa saja harapan, pola pikiran, disposisi kognitif dan emosional, dan bagaimana semua itu diwujudkan dalam budaya? Rabi’ah Al–Adawiyyah, wanita suci yang paling terkenal dalam Islam, memungkinkan kita melihat pengalaman seseorang dalam mempraktikkan kesalihan dan komitmen psikologisnya: spiritualitas Islam awal.

Kita telah melihat komitmen religius Nabi Muhammad Saw. Mengawali berbagai peristiwa yang akan mengubah geografis politik dunia Timur Tengah dan Laut Tengah. Namun, banyak umat Islam yang tidak mampu atau enggan berpartisipasi dalam proyek pemerintahan; mereka hanya menjadi penonton yang cuek, pengamat acuh tak acuh atau kritikus yang diam-diam menentang sebagian perubahan yang terjadi. Beberapa orang yang bersedia mengubah kondisi emosi atau psikologinya, alih-alih menaklukan atau memerintah dunia. Bagi orang-orang yang ini beberapa diantaranya orang yang putus sekolah, atau perusuh, sementara lainnya adalah individualis eksentrik tersedia ruang sosial maupun materi diskursif untuk memperdalam dan menyalurkan alur kehidupan internalnya. Dengan kata lain, nilai nilai budaya memungkinkan gaya spritualitas dan orang orang yang tertarik dengan hal itu dapat merujuk dan menghasilkan berbagai cerita, teks, narasi, mitos Al Qur’an, dan dicta  Nabi yang mengungkapkan alur tersebut dalam istilah yang sangat Islami karena warisan yang diciptakan umat Islam tentang Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya tentang hukum, reformasi sosial, atau hegemoni religio–politik, melainkan juga tentang mengingat Tuhan, shalat dalam kesendirian, kesederhanaan, dan bahkan kemiskinan. “Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak–banyaknya,” seperti yang dikatakan Al-Qur’an 33: 41. Rabi’ah al–Adawiyyah tampaknya mencerminkan tahap awal gaya pertapaan dari spiritualitas Islam.

Tetapi, upaya mewujudkan adalah proses kolektif dan inkremental. Rabi’ah tidak meninggalkan karya tulis apa pun; dia juga bukanlah sosok yang cukup penting pada zamannya untuk menarik perhatian para penulis sejarah abad ke–9. Selama berabad–abad, sekian banyak mitos, legenda, dan polemik menutupi kenangan samar tentang sosok asli Rabi’ah yang hidup pada abad ke–8, yang mentransformasikan sosok yang tidak jelas menjadi mistik sufi yang terkenal. Ini adalah pencapaian yang cukup hebat. Asketisisme dan mistisme mungkin sering menyatu; tetapi, sesungguhnya keduanya tidak harus dikombinasikan. Sufisme juga tidak memonopoli mistisme dalam tradisi Islam. Secara kronologis, asketisme sudah ada sebelum sufisme yang  baru dikenal sebagai sebuah gerakan pada akhir abad ke–9 dan abad ke–10. Bahkan, keberhasilan sufisme dalam mengukir tempat di masyarakat Islam dalam beberapa hal berdasarkan kesuksesannya dalam mempresentasikan kalangan pertapa dari abad ke–8, seperti Rabi’ah sebagai sufi Avant la lettre. Dibawah, kita akan membahas Al-Hallaj, yang bisa dikatakan merupakan tokoh mistik muslim yang paling spektakuler. Potongan terbesar cerita yang menyampaikan hampir seluruh  kehidupan legendaris Rabi’ah di rangkai pada abad ke-12 dan abad ke–13, dan kehadiran sosoknya dalam sebuah karya yang dikaitkan dengan penulis hagiografi Farid ad– Din Al -'Attar (w. 1221) yang benar-benar mengokohkan posisinya di panteon orang-orang suci sufi sebagai teladan wanita suci.

Al–‘Attar menulis karyanya dalam bahasa Persia untuk pembaca Iran dan Asia Tengah, tetapi reputasi Rabi’ah tersebar jauh dan luas. Bibi Jamal khatun, wanita suci abad ke–17 yang tinggal di India Barat, “menguasai kondisi dan tahapan yang luhur [istilah – istilah teknis untuk tahapan dalam jalan mistik sufi], pertapaan dan pengerahan tenaga, dan dalam penolakan dan pelepasan hal–hal duniawi, dia adalah seseorang yang unik.” Dia adalah “Rabi’ah pada zamannya”, seperti yang dikatakan seorang penulis hagiografi. ketenaran Rabi’ah juga menyebar ke Barat: para pelancong yang berjalan di sekitar Gunung Zaitun di Yerusalem kadang- kadang menemui makamnya. (Alasan sepenuhnya menyesatkan. Orang Yahudi dan Kristen dikenal mengklaim makam itu sebagai makam Nabi perempuan atau wanita sucinya sendiri dan dalam memasuki khazanah Islam populer, makam itu pertama-tama dihubungkan dengan sosok bernama Rabi’ah dari Damaskus). Yang lebih fantastis adalah penggambarannya dalam budaya populer modern. Salah satu film klasik Mesir adalah film biografi Rabi’ah, dibintangi oleh Ummu Kultsum, penyanyi Mesir terbesar dari abad ke–20. Untuk beberapa orang yang menulis dalam nuansa feminisme l, Rabi’ah adalah teladan kemandirian wanita, seorang wanita yang memiliki hati nurani dan kepercayaan diri untuk menyampaikan kebenaran di hadapan hegemoni laki – laki. Tampaknya, daya tarik sosoknya tidak pernah ada habisnya.

Rabi’ah yang lebih masuk akal

Dapatkah kita mengatakan apa pun dengan yakin tentang sosok Rabi’ah? Latar belakang etnis dan sosialnya masih diperdebatkan; beberapa sumber mengatakan dia lahir pada awal abad ke–8 dari keluarga miskin, yatim piatu , dan dijual sebagai budak. Menurut kisah kelahiran yang paling umum, Nabi Muhammad Saw. muncul dalam mimpi ayahnya, berjanji bahwa putrinya akan berdoa mewakili 70.000 Muslim.  Kemudian, sebagaimana diperintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk mengunjungi Gubernur setempat , ayahnya lepas dari jerat kemiskinan berkat hadiah dari sang gubernur. Apa yang  sesungguhnya terjadi tampaknya tidak begitu ajaib dan lebih masuk akal mengingat status lokalnya.

Rabi’atul Adawiyyah ahli ibadah perempuan yang kerap menangis dan bersedih karena mengingat akan kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah. Jika mendengar keterangan perihal neraka, Rabiah jatuh tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Rabiatul Adawiyyah dapat di kategorikan sebagai khawashul khawash dalam tingkatan Imam Al–Ghazali atau superistimewa, tingkat tertinggi setelah tingkat orang kebanyakan (Awam) dan tingkat orang istimewa (khawash). Kalau kebanyakan orang beristigfar atau meminta ampunan Allah atas dosa, Rabiatul beristigfar untuk ibadah yang tidak sempurna. Berikut adalah Karya Rabi’ah al-Adawiyyah: Disco y canciones de unamistica sufi, Chants de la recluse, I detti di Rabi’a. 

Daftar Pustaka

Adang, C., “Ibn Hamz on Homosexuality : a Case - Study of Zahiri Legal Methodology” , al Qantara 24 (2003), hlm. 5 – 31.

Adler, E. N., Jewish  Travellers ( London, 2005).

https://islam.nu.or.id/post/read/116317/rabiah-al-adawiyah--sufi-perempuan-peletak-dasar-mazhab-cinta

Annestay, J., Une femme soufie en Islam : Rabi’a  al – ‘Adawiyya (Paris, 2009).


Tidak ada komentar:

PMII KOTA SALATIGA, KOMISARIAT DJOKO TINGKIR, RAYON MATORI ABDUL DJALIL (MAD) GELAR DOA BERSAMA BAGI KORBAN LAKA DI EXIT TOL BAWEN

Ahad (24/09/2023) pukul 13.00 Rayon Matori Abdul Djalil (MAD) menggelar doa bersama atas musibah yang menimpa korban pada Laka Exit Tol Bawe...