Salam Pergerkan

Selasa, 23 Februari 2021

Filosofi Dibalik Tembang Lir Ilir


gambar: historia.id



Lir Ilir
Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir
Tak ijo royo- royo
Tak sengguh pengantin anyar
Cah angon cah angon penekno blimbing kui
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro dodotiro kumitir bedah ing pinggir
Dondomano jrumatane kanggo sobo mengko sore
Mumpung padang rembulan e
Mumpung jembar kalangane
Sun suraka surak hiyo

Lirik diatas merupakan tembang yang dikarang oleh sunan Kalijaga, lirik tersebut mengandung makna dan filosofi yang sangat dalam. Namun sayang, tembang-tembang tersebut mulai tidak populer di kalangan pemuda hari ini. Pergeseran zaman menyebabkan terpinggirnya budaya made in lokal. 

Kanjeng Sunan Kalijaga, merupakan putra dari Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangarum. Kanjeng Sunan sangat lekat dengan masyarakat muslim di pulau jawa, karena kemampuan beliau memasukan pengaruh islam ke dalam tradisi dan budaya. Seperti wayang kulit dan tembang-tembang Jawa. Singkat cerita, sebelum menjadi ulama dan wali, Raden Mas Said adalah seorang perampok spesialis hasil pribumi. Karena kelakuanya, beliau sempat di usir dari kadipaten dan tinggal di hutan. Alih-alih jera dan berhenti merampok, kondisi hutan Jatisari yang ramai karena banyak dilewati penduduk membuatnya mudah mendapatkan mangsa dengan mudah. Walaupun sebenarnya, beliau selalu membagikan hasilnya kepada orang-orang miskin. Sebelum akhirnya beliau dengan seorang waliyullah yang juga hendak di rampok, niat hati ingin merampok namun justru malah bertaubat dan berguru kepadanya, wali tersebut bernama sunan bonang.

Tembang lir ilir di ciptakan pada awal abad ke 16 ketika runtuhnya kerajaan majapahit dan mulai masuknya islam terutama pesisir Pulau Jawa, tembang ini bukan sekedar tembang biasa namun tembang penuh makna interpretasi yang dalam. Selain itu, tembang ini juga menggunakan perumpamaan untuk mempermudah pemahaman masayarakat pada saat itu.

Lir-ilir, lir ilir (Bangkitlah, bangkitlah), kanjeng sunan mengajak kita untuk semangat dan sadar beragama. Kata yang di ulang dua kali menunjukan pentingnya untuk segera bangun. Karena, waktu terus menerus akan berganti dan bumi mustahil berputar ke arah yang berbeda.

Tandure wes sumilir (tanaman yang mulai bersemi) Tanaman (iman) yang mulai bersemi, bertunas dan mulai tumbuh. Terserah kita mau merawat atau membiarkanya layu dan rapuh.

Tak ijo royo-royo (bagai warna hijau yang menyejukan) maknanya adalah kehidupan sejuk, menyamankan, menyegarkan, indah dipandang mata, menarik hati. Itulah perumpamaan tumbuhan jika di rawat dengan baik.

Tak sengguh temanten anyar (bagaikan sepasang pengantin baru) pengantin baru merupakan dua insan dari akar yang berbeda, menyatu membentuk budaya baru. Begitulah ketika sudah mantap memadu asmara menempuh jalan yang benar maka akan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi orang-orang disekitarnya.

Bocah angon, bocah angon penekno blimbing kui. (wahai anak gembala, panjatkan blimbing itu). Anak gembala dapat di artikan seorang mampu memimpin dirinya atas nafsu dan merangkul pada kebaikan. penekno blimbing kui (panjatkan pohon blimbing) Blimbing merupakan buah yang memiliki lima sisi dalam filsafat jawa dapat diartikan keinginan untuk menyempurnakan rukun islam.

Lunyu lunyu penekno, kanggo mbasuh dodotiro (Walaupun susah tetaplah memanjatnya, untuk mencuci pakaianmu) tembang ini, seolah-olah mengajak ayo bangun dari keterpurukan, semangat jangan putus asa, ya walaupun sangat susah. Sedangkan yang dimaksudkan membasuh dalam tembang ini adalah membasuh hati dari kotoran-kotoran. Kenapa mesti dicuci... karena Dodot iro, Dodot iro (Pakaianmu, pakaianmu), Kumitir Bedah ing Pinggir (Telah rusak di bagian pinggir) yaitu kemrosotan dalam tata kehidupan karena semakin beragam dan kompleksnya persoalan hidup. Maka, kerusakan harus di dondomono, jlumatono (jahitlah, perbaikilah) satu demi satu harus di tata dan di perbaiki agar menjadi utuh (agama). Kanggo sebo mengko sore (Untuk menghadap nanti sore) untuk kehidupan kedepanya yang lebih baik.

Mumphung padhang rembulane (Selagi rembulan masih terang), pada malam hari rembulan memantulkan cahaya dari matahari ke bumi, begitupun Nabi Muhamad SAW memancarkan cahaya ilahi dalam kegelapan, pada zaman ini siapakah cahaya itu, cahya itu ialah para ulama dan kyai. Selagi masih ada dan mumphung jembar kalangane (selagi masih luang dan lapang) maut adalah misteri yang tidak dapat di ketahui oleh siapapun kecuali Allah SWT. Senja itu memang indah, tapi sayang cuma sebentar. Maka, yo surako, surak hiyo (berserahlah dengan rasa syukur) menjadi sangat penting.

Saat ini, makam Sunan Kalijaga banyak dikunjungi oleh peziarah baik dari jawa maupun luar jawa, makam tersebut terletak di pesisir utara Pulau Jawa, tepatnya di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.

semoga bermanfaat 

Penulis: Suratno



Referensi:

Moh Ainul Yaqin. 2018, Dimensi Spiritual Tembang Lir-ilir Dalam Semiotika Tasawuf, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya)

Purwadi, Kazunori. 2007, Babad Tanah Jawa, Jogjakarta: Gelombang Pasang.

1 komentar:

Baha mengatakan...

Mantap sahabat

PMII KOTA SALATIGA, KOMISARIAT DJOKO TINGKIR, RAYON MATORI ABDUL DJALIL (MAD) GELAR DOA BERSAMA BAGI KORBAN LAKA DI EXIT TOL BAWEN

Ahad (24/09/2023) pukul 13.00 Rayon Matori Abdul Djalil (MAD) menggelar doa bersama atas musibah yang menimpa korban pada Laka Exit Tol Bawe...